Skip to main content

Kamboja: Sempurna!


Menghabiskan separuh hari di dalam bis ada untungnya juga, menyimpan tenaga untuk perjalanan berikutnya. Selain itu, ada bonus juga dua pria tampan yang duduk persis di depan kursi saya dan Pipit. Penyegaran mata penting saudara-saudara. Saya sering curi-curi pandang ke depan kalau si dua pria tampan itu bercengkrama. Kesenangan saya padam saat Pipit dengan seenak jidatnya bilang, “mereka gay, Fi!”

Saya suka bingung sama Pipit, kenapa suka kasih info seperti itu di saat saya belum klimaks. Meskipun asumsi Pipit belum tentu benar, saya jadi jengah setiap melihat si dua pria itu ketawa-ketawa. Sayapun jadi malas untuk memulai pembicaraan dengan salah satu pria yang memiliki mata indah itu. Tidak ada senyum manis andalan yang saya berikan pada si mata indah ketika berpapasan di wastafel restoran tempat kami menyantap makan malam.

Sekitar pukul delapan malam, Mekong Express berhenti di pemberhentian terakhirnya, Terminal Bus Siem Reap. Setelah bus benar-benar berhenti, saya celingak-celinguk mencari jemputan gratis yang dijanjikan guesthouse tempat kami menginap. Tidak ada satupun penjemput yang membawa papan bertuliskan “Efi”. Tetapi mata saya tertuju pada seorang pria yang membawa papan nama “Happy Guesthouse”, saya yakin dia yang seharusnya menjemput saya, ya, kalau tidak juga enggak masalah, saya dan Pipit bisa saja ikut menebeng dengan orang yang mendapat jemputan itu, kan, tujuannya sama. Eh,,tetapi ternyata setelah saya tanya-tanya ternyata Duan, pengemudi tuk-tuk, memang utusan guesthouse untuk menjemput kami berdua. Tetapi, karena Duan menuliskan “Yasuri” yang maksudnya adalah nama lengkap saya, jadi saja saya tidak ngeh pada pandangan pertama, soalnya nama itu terkesan Jepang dan memang di bus kami ada pengunjung dari negeri sakura.

Duan cukup informatif. Dialah orang pertama yang memberikan kami saran untuk pergi sebelum matahari terbit ke Angkor Wat. Duan juga ikut memikirkan waktu yang tepat bagi kami untuk menuju perbatasan Poipet untuk melanjutkan perjalanan ke Thailand. Ah,,sudahlah tak usah pikirkan perjalanan ke Thailand dulu, nikmati saja Siem Reap tempat kaki kami berpijak saat itu.

Saya suka atmosfer Happy Guesthouse, pengelola meletakan restoran dan barnya di depan guesthouse, dengan alunan musik yang enak didengar saya merasa disambut dengan hangat di Siem Reap. Ternyata Duan bukan merupakan satu-satunya staf Happy yang ramah, seluruhnya ramah. Nga, staf sekaligus keponakan dari pemilik guesthouse, menyambut kami. Sambil mengantarkan kami ke kamar dia memberikan info ini itu tentang Siem Reap.

Sebenarnya saya lelah akibat 12 jam perjalanan, tetapi kamar tempat kami menginap sangat panas. Kipas angin yang kekuatannya sudah maksimal tidak terlalu membantu mendinginkan ruangan. Saya putuskan untuk turun ke restoran, memesan sebotol cola dingin. Segaaar! Alasan lain saya turun ke resto adalah mendapatkan sinyal wifi yang hanya ada di area ini dan juga mencari teman ngobrol baru. Yah, lumayan kalau ada yang nyangkut. Hehehe...

“Besok mau ke Angkor Wat?” tanya seorang pria berkaca mata yang duduk di seberang meja saya. Saya jawab dengan anggukan. Dia yang mengaku bernama Maarten ini ternyata juga akan mengunjungi Angkor Wat keesokan hari, namun berhubung sendirian dia mencari turis lain yang mau berbagi sewa tuk-tuk. Saya iyakan, lumayan biaya sewa tuk-tuk seharga USD 15 bisa dibagi tiga.

Tampang Maarten terlihat seperti seorang nerd. Kesan itu diperkuat dengan suara halus dan kalimatnya yang tertata rapi. Sambil berfokus pada laptopnya, pria asal Belanda ini cerita kalau dia sudah 8,5 bulan berkelana keliling dunia. Dia menunjukan peta perjalanannya, benar saja dia hampir selesai bertualang satu putaran bumi. Bikin iri!

“Mampir ke Indonesia enggak?” tanya saya. Dengan memasang senyum lebar Maarten menggelengkan kepalanya. Keterlaluan! Teriak saya. Padahal sebelum kembali ke Belanda dia akan mampir sebentar di Malaysia yang hanya 1,5 jam dari Indonesia. “I can’t, I am running out of money,” kata dia. Aduuh,,si Maarten ini pengen saya cekik, bisa-bisanya melewati Indonesia begitu saja.

Someday I will. What should I do in Indonesia? to conquer you all over again?” selorohnya.

Melihat Maarten seperti berbicara dengan Ditto, teman kuliah saya dulu. Perawakan dan gaya sok cool-nya mirip. Keduanya juga jago motret. Foto Angkor Wat dengan semburat matahari terbit jepretan Maarten sungguh keren. Melihat hasil bidikannya, saya meniatkan diri untuk mengecek laman facebook Maarten sesampainya kami di guesthouse.

Berjalan-jalan dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali ternyata cukup menyenangkan, seperti berada dalam fast track untuk mengenal satu sama lain. Terkadang tanpa sadar kita akan refleks menganggap teman perjalanan baru seperti teman yang sudah kita kenal sedari dulu. Bahkan Pipit berani memarahi Maarten saat tahu Maarten tidak akan menapakan kakinya di Indonesia. Mengomeli anak orang yang baru dikenal beberapa jam tentunya tidak akan mudah kalau kita tidak merasa “dekat”.

Maarten pun sempat sedikit menghardik ketika saya terlihat tidak menangkap omongannya. “Are you following me?” tanyanya dengan nada kesal sebelum kembali mengulang lagi pernyataanya.

Tidak butuh waktu panjang untuk mengetahui kalau Maarten adalah seorang perfeksionis. Saya pernah disuruh berkali-kali mengambil gambar dirinya sesuai kemauannya. Sudah dengan susah payah memotret, Maarten masih mengomel karena jepretan saya tidak sesuai arahannya. Padahal untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan, karya saya hanya butuh dipotong sedikit dan voila! Jadilah foto yang sesuai maunya.

Maarten punya kebiasaan unik. Setiap dia melihat wisatawan dia akan langsung menginformasikan kepada saya dari mana mereka berasal. “He is from Germany, I overheard when he explained to the tour guide that he was born in west but raised in east,” ceritanya sambil menunjuk pria yang sedang berjalan dengan tour guidenya. “They are from Belgium, that guy from Spain, those men are from Belanda,” cerocosnya. “Pentingnya buat saya apa?” tanya saya. Sambil menaikan bahunya Maarten menjawab “I am just telling you.”

Maarten "Hard to Please" Rutten
Angkor Wat memang menakjubkan. Kantuk saya langsung hilang saat melihat semburat merah matahari pagi yang menjadi latar belakang Angkor Wat. Speechless. Saya selalu kagum dengan pembuat candi masa itu. Ide dan pembuatan candi di abad 8 setelah masehi tentunya bukan perkara mudah, bahkan kalau dibuat di zaman modern sekarang ini pun tidak bisa dianggap enteng.

Sebelum beranjak ke candi berikutnya, kami bertiga memilih untuk sarapan. Kami mengikuti langkah Anna, pekerja di salah satu warung tenda, masuk ke kedainya. Di kanan-kiri warung Anna ada beberapa warung lain yang memiliki nama seru-seru seperti Harry Potter, Lady Gaga, sampai Rambo.

Sebenarnya Rambolah yang pertama mengajak kami ke tendanya. Saat kami baru sampai di Angkor Wat, Rambo menghampiri kami “Hello good morning. My name is Rambo, you can have breakfast at my tent over there after walking arround the temple. Don’t worry I will not sell anything to you right now, just come to my tent after. You are very lucky because there are not so much sky and you can see the sun rises. Enjoy your time and don’t forget my name is Rambo.” Pria muda itu dengan lancar menjalankan SOP penyambutan turis yang belum sempat sarapan untuk mampir ke tempatnya.

Memiliki kompleks candi semegah Angkor Wat memang menjadi berkah bagi penduduk sekitar. Bagi yang memiliki dana lebih mereka bisa membuat penginapan yang tampaknya akan jarang sepi. Kalau modal tidak terlalu kuat, membuka kedai makanan seperti yang dilakukan Anna, Rambo, Lady Gaga, dan Harry Potter lakukan bisa menjadi pilihan. Atau, menjual cinderamata seperti gelang, kalung, atau buku bisa menjadi opsi lain.

Saya dan Maarten tertarik membeli buku berjudul Ancient Angkor. Di sampul belakang buku tertera harga USD 27, namun si penjual menawarkan USD 10. Ini jebakan, sebenarnya Maarten berani bertanya harga buku tersebut karena sebelumnya si penjual bilang harganya US$ 2, ternyata harga tersebut untuk buku lain. Awalnya kami tidak mau beli, namun orang Khmer itu pejuang yang gigih, akhirnya Maarten menukarkan USD 5 dengan satu buku.

Insting bisnis pedagang ini memang kuat saudara-saudara. Dia bisa mengendus ketertarikan saya, dipaksanya saya untuk beli. “Why should I buy it, if I can borrow it from him,” kata saya sambil menujuk Maarten. Dengan sigap Maarten menyodorkan bukunya dan menyuruh saya membaca. “I am making a small business here, help me buy one. Your friend bought it from my friend but I didnt sell any,” kata si Jay-Z, gaya berpakaiannya mirip rapper agar mudah mengingat saya bikin nama panggilan untuknya.

Alasan Maarten membeli buku itu adalah untuk memudahkannya untuk berkeliling kompleks keesokan harinya, “I need this so I don’t need to have a tour guide tomorrow,” jelasnya. Sementara saya beragumen, “Well, I don’t have much time here so I will find out more from this book.

Semua alasan pembenaran tersebut berubah menjadi cacian saat kami berjalan ke candi lain. salah satu penjual menjajakan buku yang sama seharga USD 1. Saya dan Maarten menggerutu sementara Pipit cekikan geli. “It is ok guys, they are poor, you helped them,” kata Pipit. Saya manyun.



Kejengkelan saya sedikit berkurang saat memasuki candi Bayon. Candi yang cukup besar dengan struktur bangunan yang cukup berbahaya. Di mana-mana saya melihat ada peringatan agar pengunjung tidak bersender sembarangan. Bukan apa-apa, Bayon masih direstorasi di sebagian tempat, lagipula candi tersebut sudah dimakan umur wajar kalau rapuh. Candi-candi lain pun banyak yang sedang direstorasi, pemerintah Kamboja mendapat bantuan dari negara-negara asing untuk memperbaiki candi-candi yang ditetapkan UNICEF sebagai warisan budaya dunia ini.

Berdasarkan buku yang saya beli, seluruh candi yang ada di kompleks Angkor Wat sempat bergantian menjadi tempat ibadah kaum Budha dan Hindu. Setiap candi dibangun untuk menghormati raja yang memimpin di masanya. Banyak sekali candi yang ada di seluruh kompleks, bila mau mengitari seluruhnya dibutuhkan waktu sekitar 3-5 hari.


Hari itu, kami bertiga hanya ambil paket satu hari dan mengunjungi lima candi terdekat dari pintu utama. Saya dan Pipit membayar USD 20 untuk sekali masuk, sementara Maarten membeli tiket terusan tiga hari seharga USD 40. Hmm,,sekali lagi Maarten membuat saya iri, perjalanannya nampak seperti unlimited and has the whole time in the world.



Saya melakukan kesalahan dengan memakai celana pendek dan tidak membawa kain panjang. Walhasil saat bertemu biksu saya harus ngumpeti, mereka sih tampak biasa saja, tetapi saya merasa menjadi orang jahat karena tidak menghormati candi yang masih sering mereka pakai untuk beribadah. I shouldnt have worn short. “Well, I don’t mind,” kata Maarten sambil cengengesan.



the famous face


tree hugger


Kalau Bayon terlihat hebat dengan relief muka budha yang menghadap ke empat arah mata angin, Ta Phrom menawarkan keeksotisan lain. Tree Hugger, begitu saya menamakan Ta Phrom. Indah sekaligus mistis melihat candi berumur ratusan tahun dililit oleh pohon-pohon tua. Candi yang pernah menjadi lokasi pengambilan gambar Tomb Raider yang dibintangi Angelina Jolie ini adalah favorit saya.

Di sini saya dan Maarten cekikikan melihat rombongan turis Jepang yang unik. Topi lebar penghalau sinar matahari, kacamata hitam agar tidak silau, masker penampik debu, dan sarung tangan menjadi perlengkapan wajib mereka. Mereka tertutup dari kepala sampai kaki. Memangnya mereka sebegitu ringkih ya?

Karena kaki sudah mulai lelah, saya dan Maarten memutuskan untuk ke tempat Duan menunggu kami. Tapi, loh, kok, Pipit enggak ada. Maarten panik. Sambil meluruskan kaki di atas tuk-tuk, Maarten bilang kami harus kembali ke Ta Phrom bila dalam sepuluh menit Pipit tidak datang.

Don’t you worry. She will be fine, she was the one who read map in Vietnam, so she wont get lost,” ujar saya. Bukannya tidak khawatir, tetapi saya rasanya, kok, tidak sanggup masuk ke dalam, kaki saya sudah kelelahan lagian panas sekali Siem Reap hari itu. Aku tak sanggup. Tetapi Maarten mana mau mengerti, dia berhasil menyeret saya kembali ke dalam untuk mencari Pipit. Dan, tahukah saudara-saudara dimana Pipit berada? Dia sedang duduk santai di pintu masuk Ta Phrom. Ternyata dia tidak mendengar Duan yang mengatakan akan menunggu kami di pintu keluar yang berada di sisi lain.

Pipit ditemukan, namun masalah lain timbul, kami harus kembali ke tempat Duan menunggu. Siksaaaaan buat kaki saya yang sudah tak bertenaga. Saya hanya ingin pulang dan memijat kaki di kamar guesthouse.

Comments

Popular posts from this blog

Who Am I?

I am becoming the person I hate the most. How I wish to have a peacefull mind but don,t work. Spend too much time with virtual world drown me into misery.

veinti ocho

Another number to add. This time I kinda relax to face it. No excited feelings, nor ignore the date. It came all natural. Just want to take a moment of silent for meself. Some big steps in life I've already taken before this number came. I am now, living mylife as an expats, a little wish I whispered ages ago. I left family back home, so it let me feel homesick of being around them. The bold note for this time is I am in the country I have longed since years ago, India. One time I told myself to add the number in India. And, here I am. How wonderful life is. Especially when the love one is there next to me. I want a memento, a present for me. I will have it later and keep you updated. Namaste.

Di Puncak Tangga

Tik..tok..tik..tok... Enggak berasa nih kawan, dah hampir kelar semester tujuh. Semester delapan tinggal beberapa waktu lagi masuk ke dalam kehidupan kita. Dapat dipastikan dengan masuknya semester delapan kita makin sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kecil pasti sibuk dengan urusan job tre-nya. Yang cowok pun sepertinya demikian. Yang jilbab gw kurang ngerti neh dia sibuk job tre, kuliah, atau keduanya. Sedangkan jilbab yang lain pasti sibuk dengan organisasinya dan dibantu oleh si pasangan hidupnya. Teman sejawatnya. Sedangkan yang gingsul, rambut panjang, rambut pendek kaca mata, dan gw pasti sibuk dengan kuliah dan job tre. Kalau gw sih ada tambahannya, yaitu bersenang-senang. Hehehe...aku akan menikmati semester besok yang tidak banyak kuliah. Yihaa....setidaknya dengan sedikit kuliah gw bisa mengerjakan sesuatu yang gw dah dari dulu pengen dilakuin. Asik..asik... Tetapi yang jadi masalah gw mesti bersenang-senang sama siapa. Toh, lo semua aja mungkin sibuk dan entah ada di m