Sekuat
tenaga saya mengerjapkan mata. Masih dini hari, hampir pukul dua malam. Pipit
dan saya sudah siap menunggu jemputan bus malam, siap menuju tujuan perjalanan
berikutnya, Phuket, Thailand.
Saya
masih beradaptasi dengan cuaca Siem Reap pagi itu yang sangat ekstrem gerahnya.
Saya juga masih menenangkan diri akibat kebodohan beberapa jam sebelumnya,
melewatkan waktu lebih panjang bersama Jes. Ohhh... my!
Tuk
tuk jemputan datang, mengantarkan kami ke tempat berkumpul untuk kembali
menunggu bus ke perbatasan Poi Pet datang. Kami dengan mata masih mengerjap
duduk di sebuah sudut. Rasa kantuk membuat kami malas berbasa-basi dengan calon
penumpang lainnya, seorang pria bule dan dua perempuan Jepang.
Dalam
diam, kami terus menunggu. Tiba-tiba dia datang. Wanita muda mungil. Tanpa
diberi tahu, saya yakin dia orang Jepang, mata dan kulitnya penunjuknya.
Berbeda dengan kami, wajahnya cerah dan dengan ramah menyapa kami. Dia yang
bernama Eri sibuk berbicara dengan Pipit, sementara saya sibuk melihat
penampilannya. Tidak salah kalau saya bilang turis Jepang sangatlah
fashionable. Di pukul dua dini hari, eyeliner dan maskara sudah terpasang rapi.
Semburat blush on pun terlihat, jangan lupakan aksesoris walaupun tidak terlalu
banyak.
Selama
perjalanan, bukan hanya Eri yang terlihat rapi jali, rata-rata turis Jepang
lain seperti dia. Dua perempuan Jepang yang sedang asik mengobrol di depan kami
pun rapi. Yang saya maksud rapi adalah mereka berpakaian layaknya mereka sedang
berjalan-jalan saat hari terang. “Saya harus cari tahu mengapa mereka
berpakaian seperti ini,” saran saya kepada diri sendiri.
Eri
masih berusia dua puluhan. Nampaknya tidak berbeda jauh dengan umur saya. Dia
mengaku sebagai solo traveler, sudah dua bulan terakhir dia menyusuri China dan
India. Target berikutnya adalah kawasan Asia Tenggara. Tertarik dengan
pembicaraannya, saya nimbrung “how long are you gonna travel?”. “Four years,”
jawab dia.
Tanpa
dikomando saya dana Pipit gelagapan. Baru kali ini saya mendengar ada yang mau
travel sampai empat tahun. selama perjalanan kami, paling lama target
perjalanan para traveler hanya sampai satu tahun sebelum mereka melanjutkan
perjalanan berikutnya.
“Why?”
selidik saya.
Dengan
santai, Eri berkisah kalau dia ingin menantang dirinya sendiri. Ia ingin
memaksa dirinya untuk mampu beradaptasi dengan semua kondisi. Dia juga tidak
sungkan bila harus tidur di emperan jalan, sebab memang itu yang dia inginkan.
Bertahan hidup walaupun kondisi tidak nyaman.
“How
you support yourself?” pertanyaan sensitif tapi terlalu sulit untuk tidak
diajukan.
Dia
tidak terang menjawab, hanya mengatakan dirinya telah bekerja tiga tahun
terakhir dan menyisihkan pendapatannya untuk perjalanannya. Tiga pekerjaan dia
jalani sekaligus. Satu pekerjaan penuh dan dua pekerjaan lepas. Demi memenuhi
tujuannya, dia rela untuk tidur hanya empat jam seharinya. Mendengar ceritanya
saya hanya garuk-garuk kepala, kapan terakhir saya punya determinasi tinggi
seperti itu. eh,,malah kalau diingat-ingat saya tidak pernah alami hal seperti
itu.
saya belum mendapat kabar keberadaan Eri saat ini |
Di
tengah obrolan kami. Tuk-tuk yang tadi menjemput saya kembali lagi berisi
penumpang lainnya. Dua orang, satu wanita jepang dan satu pria kulit putih. “Hola!
Como estan?” oh,,,dia dari Spanyol pikir saya. Dia duduk tidak jauh dari saya,
menyebar senyum kepada siapa saja yang ada di sekitarnya.
“Hola!”
sapa saya. Berkenalanlah kami. Ternyata dia bukan orang Spanyol seperti yang
saya kira, Perancis merupakan negara asal dia. Dia memperkenalkan diri sebagai
Pablo, traveler on wheel. Dia sudah berkeliling Amerika Selatan dengan
sepedanya selama enam bulan. Kejutan kedua pagi itu, mata saya benar-benar
terbuka lebar.
Pablo
mengaku tidak bisa tidak menggunakan “mesin” sebagai alat gerak. Dia tunjukan
gambar sepeda rakitannya yang saat itu di simpan di Meksiko. Dia akan kembali
untuk mengambilnya sebelum melanjutkan perjalanan ke Asia. Dia bilang akan ke
Indonesia juga tahun ini atau tahun depan. Dia sudah mendaftarkan diri dalam
sebuah grup pengelana yang akan menyebrang lautan yang terbentang di antara
daratan Amerika Selatan dan Indonesia. “Hah!” kejutan lain di pagi itu.
Pablo
menunjukan papan luncur teman perjalanannya kali ini. Ia memilih perangkat itu
karena ia tidak terlalu lama di Asia dan papan kayu tersebut sudah cukup
baginya. Pablo merupakan tampilan masa depan Eri. Kenapa? Tujuan Eri
berjalan-jalan adalah untuk mngasah daya tahan hidupnya agar bisa beradaptasi
dengan segala macam keadaan seperti apapun, Pablolah contohnya. Pablo mengaku,
kalau tiba-tiba semua harta benda yang ada di dalam tas punggungnya raib dan menyisakan
pakaian di badan, ia masih bisa bertahan hidup.
Mencari
makna hidup, itu alasan Pablo mengayuh sepedanya ke berbagai pelosok bumi. Sedikit
dari pengalaman perjalanannya yang diceritakan, salah satu inti yang berusaha
ia sampaikan adalah “people is good”. Pernah ia meminta bermalam di sebuah
rumah penduduk lokal, dia tidak mengerti bahasa setempat namun ia memberanikan
diri untuk meminta si empunya rumah untuk menggelar kantung tidurnya di teras. Bukannya
mendapatkan teras, justru dia diajak masuk ke dalam rumah, ditunjukan ruang
kosong buat dia menggelar perangkat tidurnya, diarahkan ke kamar mandi, bahkan
dia mendapat sepiring makan malam yang masih hangat.
“You
can’t live with nobody. There were always time when you need to find other
person, so you won’t feel lonely. Sharing a plate of your-just-made pasta with
someone is way more better than it eat alone by yourself. People is good,”
celoteh Pablo.
cerita perjalanan Pablo bisa dilihat di www.mpiem.org |
Baik
Eri maupun Pablo mengajarkan saya untuk menantang diri sendiri dan lebih
terbuka dengan kondisi macam apapun. Iri dengan mereka yang sudah memulainya
dan berperan sebagai pengelana, sementara peran saya hingga saat ini hanya
menjadi penduduk lokal.
pertemuan2 semacam ini yang bikin backpacking itu nagih....nagih.. dan nagih.. ;) *jempol*
ReplyDeleteMari berkelana, Astri. jangan jadi turis mulu yah kita :D
Delete